Senin, 03 Januari 2011

Danau sentani,papua

Danau Sentani di bawah lereng Pegunungan Cycloops yang terbentang antara Kota Jayapura dan Kabupaten Jayapura, Papua. Landskap Danau Sentani dengan gugusan pulau di tengahnya merupakan salah satu yang terindah di Indonesia.
Sumber:
ajiprabowo.wordpress.com / kaskus.us

kesan di gammatika

Nama: siti khomsiyah
TTL: 27 oktober 1989
JK: perempuan
mafor: tempe goreng
mifor: susu
kesan: kesan q selama digammatika ini,seneng bgt,soalnya saya disini mendapatkan ilmu banyak dan mendapatkan pengalaman-pengalaman yang menyenangkan,terus karyawan-karyawanya baik-baik semua,sabar lemah lembut.

Minggu, 02 Januari 2011

Only a Girl,menantang phoenix

Pengadopsian kultur baru oleh sebuah masyarakat sering memunculkan guncangan. Hal ini terutama terjadi karena kultur baru memiliki nilai-nilai yang bertentangan dengan kultur lama. Tuduhan bahwa kultur lain tidak lebih beradab dari kultur yang sedang dipegang, semakin memperparah kondisi ini.

Menariknya, hal tersebut lebih banyak terjadi di kalangan "kaum tua" yang acap kali dilabeli sebagai golongan yang konservatif. Sebaliknya, di kalangan kaum muda, kultur baru dianggap lebih baik, modern, dan lebih manusiawi. Itu sebabnya mereka tidak segan untuk mengadopsinya.

Hal seperti itulah yang digambarkan dalam novel yang Only Girl, Menantang Phoenix yang ditulis oleh Lian Gouw ini. Dalam novel yang mengambil latar belakang kondisi politik dan sosial Indonesia antara 1930-1952 ini, Lina Gouw ingin menunjukkan bahwa "pertemuan" sebuah kultur dengan kultur lainnya cenderung memunculkan ketegangan tertentu.

Salah satu tokoh sentral dalam buku ini, Carolien adalah seorang perempuan keturunan Tionghoa yang digambarkan sebagai sosok muda yang menganggap kultur Belanda lebih baik ketimbang kultur Tionghoa. Hal ini tampak dari bagaimana cara ia memandang pendidikan Belanda.

Ia pun selalu memandang bahwa kepercayaan masyarakat Tionghoa yang masih dilakukan oleh keluarganya adalah sebagai tahayul yang sia-sia. Bahkan ia pun "menutup mata" ketika keluarganya menentang pernikahannya dengan seorang pemuda keturunan Tionghoa yang berasal dari keluarga biasa-biasa.

Perkawinan Carolien memang kandas. Tetapi ia tetap meyakini kultur Belanda adalah yang terbaik. Bahkan ia berencana memberangkatkan putrinya Jenny untuk meneruskan studi di bidang hukum di Leiden, Belanda.

Tetapi semunya berubah ketika Indonesia merdeka. Kala itu pemerintahan yang sah sudah beralih ke tangan pemerintah Republik Indonesia. Akibatnya, perubahan terjadi di segala bidang, termasuk bidang pendidikan.

Hal itu menyulitkan Jenny. Pasalnya, pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk menjadikan Bahasa Indonesia menjadi mata pelajaran wajib di sekolah-sekolah, termasuk di sekolah yang sebelumnya dikelola oleh Belanda, sementara Jenny tidak pernah belajar Bahasa Indonesia sebelumnya.

Dalam suasana dan kondisi seperti itulah permasalahan dan prahara menimpa keluarga Carolien. Perubahan-perubahan di bidang politik telah membawa dampak yang tidak kecil dalam keluarga mereka. Hanya dua pilihan mereka, bertahan atau menyerah.

Dari novel ber-setting Kota Bandung ini pembaca dapat melihat bahwa dunia politik, secara langsung ataupun tidak, selalu berujung pada dua hal, yakni kebaikan atau penderitaan bagi rakyat. Tinggal bagaimana pemimpin dapat melihatnya untuk menemukan solusi.

Bagi pembaca di Indonesia, buku ini akan lebih menarik jika Lian Gouw dapat secara detail menunjukkan atau menggambarkan kehidupan masyarakat Bandung pada masa itu. Dengan begitu, novel ini tidak sekadar menyajikan cerita yang menarik dan menyentuh, namun juga sebuah "catatan" sosiologis yang menawan.
Selain itu, jika saja Lian Gouw berhasil menambahkan catatan mengenai tempat-tempat bersejarah di kota Bandung pada masa itu,niscanya novel ini akan semakin mengesahkan.
Sumbar :
http://ulas-buku.blogspot.com/

Namaku matahari

Meskipun sudah banyak sumber yang mengungkap kehidupan Mata Hari, namun sosoknya tetap misterius. Sebut saja fakta seputar kematiannya. Konon hingga kini tidak jelas dimana ia dikuburkan.

Hal yang jelas, ia pernah hadir pada masa Perang Dunia Ke-I. Kala itu ia menjadi agen rahasia untuk dua negara sekaligus (double agent), Jerman dan Perancis.

Dikisahkan, Mata Hari lahir di Leeuwardeng, Belanda pada tahun 1876. Kala itu ia masih memakai naman Margaretha Geertruida. Pada usia 18 tahun ia menikah dengan seorang opsir Belanda bernama Rudolf John MacLeod.

Setelah itu ia pindah ke Jawa, untuk mengikuti suaminya yang bertugas di sana, tepatnya di Ambarawa. Ketika berada di Jawa inilah Mata Hari belajar menari untuk pertama kalinya.

Dari situlah ia kemudian banyak mementasakan tarian Jawa. Bahkan pada periode berikutnya ia juga mulai menarikan tarian-tarian erotik di hadapan banyak orang. Tentu saja hal ini membuat ia semakin dekat dengan banyak kalangan, termasuk petinggi militer. Tidak sedikit petinggi milter yang kemudian tidur bersamanya.

Lewat apa yang dilakukan oleh Mata Hari, novel ini telah melakukan sebuah protes dan sindiran keras atas sikap hipokrit pihak penguasa, termasuk kalangan rohaniawan. Simak saja ketika Mata Hari menyatakan kesetujuanya untuk menarik erotik di hadapan penguasa dan kalangan rohaniawan Katolik maupun Kristen (halaman 183-185).

Dengan tarian erotiknya Mata Hari ingin melakukan sebuah pembalikkan. Artinya, dalam kondisi kultural yang menomorduakan perempuan, ia justru ingin menunjukkan bahwa pria dapat bertekuk-lutut di bawah daya tarik gerakan erotik tariannya, maupun dan gairah seksualitasnya.

Ini adalah sebuah simbol, meskipun secara kultural laki-laki lebih dominan ketimbang perempuan. Namun, di sisi lain--digambarkan melalui hubungan antara Mata Hari dengan pria yang berkencan dengannya--laki-laki adalah pihak yang justru dikuasai oleh perempuan.

Bahkan dengan caranya sendiri, Remy Syaldo, memperlihatkan bagaimana pria menjadi objek pelepas hasrat Mata Hari. Di sini terlihat bagaimana superioritas laki-laki seketika luntur tanpa perlawanan. Kelemahan leki-laki seakan ditelanjangi. Beginilah Remy Sylado mengkritik kultur patriarkal.

Sikap Mata Hari yang seakan membalaskan dendam kepada laki-laki bukan tanpa sebab. Hal itu terjadi karena sejak awal pernikahannya, ia sudah merasa ditindas oleh kekuasaan laki-laki, yakni dari suaminya sendiri. Ia menggambarkan suaminya sebagai sosok yang menakutkan, egois, dan gemar main perempuan.

Di sisi lain, Mata Hari, ditampilkan sebagai perempuan yang "melampaui" jamannya, dalam arti ia sanggup berpikir dan bertindak di luar kebiasaan. Bahkan secara terang-terangan ia menyatakan dirinya sebagai vrijdenker, atau pemikir bebas, yang karenanya ia mempertanyakan keberadaan Tuhan.

Novel ini dapat dikatakan sebuah reinterpretasi kisah Mata Hari di Indonesia. Penulis mengatakan demikian karena, hampir tiga perempat isi buku ini berisi perjalanan Mata Hari selama di Indonesia. Inilah yang membuat buku ini menarik bagi pembaca di Indonesia
Sumber :
http://ulas-buku.blogspot.com/





Perjalanan spiritualtingkok ke nusantara

Kisah mengenai Ong Tien sudah sudah lama dikenal oleh masyarakat Indonesia. Malah, kisah mengenai putri yang berasal dari negeri Tiongkok ini memiliki tempat tersendiri dalam sejarah perkembangan Islam di Nusantara, khususnya di Jawa barat.

Kehadiran novel ini seakan menyegarkan ingatan kita kembali, bahwa perkembangan Islam di Nusantara memlilki banyak warna. Sehingga amat sulit untuk mengatakan bahwa Islam adalah sebuah agama yang berkembang karena dirinya sendiri, melainkan ada banyak faktor yang mendukungnya, mulai dari aspek kultural hingga politis.

Dalam buku ini dikisahkan bagaiamana kisah Ong Tien untuk pertama kalinya bertemu dengan Syarif Hidayatullah yang tidak lain adalah Sunan Gunung Jati, ulama terkemuka penyebar Islam di Pulau Jawa. Saat itu, tabib Syarif Hidayatullah diundang untuk mengunjungi istana kaisar Hong Gie.

Pada kesempatan itu terjadilah peristiwa “legenda” bokor kuningan yang berujung pada keputusan Ong tien untuk menemui tabib Syarif Hidayatullah yang berada di Pulau Jawa. Perjalanan yang penuh bahaya itu berhasil dilalui. Putri Ong Tien akhirnya bertemu dengan Syarif Hidayatullah, menikah dengannya, memeluk Islam, dan mempelajari Islam dengan lebih mendalam.

Hingga akhir hayatnya Putri Ong Tien digambarkan sebagai perempuan yang patuh kepada suami sebagai kepala keluarga. Apa yang dikatakan oleh sang suami selalu menjadi kekuatan baginya untuk menghadapi konflik batinnya, termasuk ketika keinginannya untuk memperoleh keturunan tidak dikabulkan oleh Tuhan.

Salah satu kekuatan buku ini adalah kayanya sumber sejarah yang dijadikan rujukan oleh penulisnya. Hal ini menjadikan kisah Putri Ong Tien tidak kering. Bahkan ada kesan bahwa buku ini menjadi sebuah novel sejarah.

Harus diakui, menyatukan fakta historis dalam sebuah novel bukan hal gampang. Kepiawaian penulis untuk menyatukan pecahan puzzle sejarah menjadi sebuah alur cerita yang menarik dan bernas menjadi sebuah keharusan. Penulis buku ini, Winny Gunarti, tampaknya memiliki kemampuan tersebut.

Catatan lain mengenai novel ini adalah, kisah-kisah yang dibiarkan tidak tergali dalam. Padahal cerita mengenai Ong Tien sangatlah menarik. Jika saja penulis buku ini berani melakukan reinterpretasi fakta sejarah seputar kisah Ong Tien, niscaya novel ini akan lebih mengasyikkan.
Sebut saja dengan memperdalam intrik politik dalam istana terkait hukuman yang dijatuhkan kepada selir kaisar, ataupun konflik batin istri-istri Sunan Gunung Jati ketika Ong Tien masuk dalam kehidupan mereka. Pendalaman ini pasti akan membuat novel ini tampil lebih menarik lagi.***



Kenangan seorang wartawan nekad

Wartawan selalu memiliki kisah-kisah menarik selama menjalankan profesinya. Sayangnya, hal itu tidak selalu dapat dituangkan ke dalam kolom-kolom di media tempat ia bekerja. Sebagai alternatif dipilihlah media lain, baik blog pribadi ataupun buku.
Cara terakhir inilah yang dipililih olah Gerson Poyk, wartawan senior sekaligus sastrawan yang acap kali menerima penghargaan baik di bidang jurnalistik maupun sastra. Gerson memilih buku sebagai media untuk menampilkan apa yang tersisa dalam ingatannya berkaitan dengan karirnya di dunia jurnalistik.
Buku ini berisi sejumlah catatan kenangan Gerson saat itu bekerja sebagai wartawan. Lelaki yang sudah bekerja sebagai wartawan sejak tahun 1960 itu, mengisahkan kembali berbagai pengalaman yang terekam dalam kenangan ketika menjalankan tugas jurnalistik.
Hal yang menarik, Gerson sengaja mengemas semua yang masih ada dalam kenangan itu dengan cara yang jenaka. Itulah yang membuat tulisan dalam buku ini terasa begitu segar. Humor di sana-sini membuat apa yang ditulisnya enak untuk dibaca dan lebih dari sekadar menuliskan sebuah kisah lama.
Tengok saja ketika ia berpura-pura menjadi anggota rombongan pengantar Bung Karno ketika Sukmawati, putrinya, menikah. Saat itu Gerson dan wartawan lain dilarang masuk ke dalam rumah Fatmawati oleh petugas. Padahal para kuli tinta sudah tidak sabar untuk melihat Soekarno yang sudah ditahan selama sekitar satu tahun.
Namun gagasan nekat Gerson muncul. Ia berpura-pura menjadi pendamping dua penghulu yang masuk ke dalam rumah Fatmawati lewat gang belakang. Ia pun berhasil masuk ke dalam.
Lalu, Gerson pun berhasil "mengobok-obok" suasana di dalam rumah Fatmawati, mulai dari kehadiran anggota keluarga, ranjang pengantin, seprai, kelambu, meja yang penuh dengan kue, hingga para ibu yang tengah mencabuti bulu ayam.
Bahkan ketika itu Gerson sempat menyaksikan dengan jelas bagaimana kondisi Soekarno. Ia mendeskripsikan lutut Soekarno yang gemetar ketika presiden pertama Republik Indonesia itu menaiki tangga.
Kegemaran Gerson pada alam terbuka dan kesederhanaan, juga tampak dalam tulisan-tulisannya. Tidak mengherankan jika ia memilih jalan darat dengan bus ketika pulang meliput kegiatan presiden ketimbang menumpang pesawat terbang.
Menurutnya, perjalanan di darat bersama rakyat kecil banyak memberikan pemandangan yang mengasyikkan, mulai dari pemandangan para mbok yang menggendong bungkusan batik, penjaja seks pinggiran yang miskin, sampai petani garam di pesisir utara Jawa dengan kulit yang berwarna tembaga.
Sayang, tidak diketahui secara pasti kapan tulisan-tulisan ini dibuat. Jika keterangan itu ada, maka jarak waktu antara saat penulisan dan ketika Gerson mengalami peritiwa yang diceritakannya itu, akan menjadi hal yang menarik.
Beragamnya kisah manusia yang dikisahkan oleh Gerson, menjadikan buku ini menjadi semacam tulisan sosiologis. Dari situ setiap orang dapat belajar bagaimana seharusnya membangun dan memperlakukan manusia.
Dari sudut pandang profesi wartawan, dari buku ini dapat juga dipetik pelajaran, bahwa keterbatasan fasilitas wartawan di masa lalu, justru mencetus kesempatan--dan kenekadan--untuk melihat Indonesia dan keindonesiaan.
Sumber :
Gerson Poyk

Asal usul tlatar boyolali

Cerita diawali dengan adanya sebuah desa yang merupakan bentangan padang ilalang, tanahnya kering kerontang, berpadas dan penuh bebatuan. Desa ini bernama Wonotoro. Pemimpin desa pada waktu itu bernama Ki Ageng Wonotoro, beliau adalah sosok figure yang sangat arif dan bijaksana penuh rasa tanggung jawab dalam memimpin desanya disamping itu beliau juga mempunyai kepandaian linuwih dalam hal kebatinan.

Ki Ageng Wonotoro merasa sangat prihatin melihat keadaan desanya yang gersang kekurangan air, untuk mendapatkan sumber / mata air Ki Ageng Wonotoro melakukan semedi mohon petunjuk kepada Tuhan Yang maha Kuasa agar diberi sumber air. Didalam semedinya Ki Ageng Wonotoro mendapat petunjuk ( ilham ) yang isinya “ Untuk mendapatkan sumber air supaya pergi ke Pantaran menemui ki Ageng Pantaran. Singkat cerita Ki Ageng Wonotoro memerintahkan seorang cantriknya untuk menemui Ki ageng Pantaran untuk meminta sumber air. Setelah cantrik utusan Ki ageng wonotoro sampai dipantaran dan menyampaikan permohonan pimpinanannya kepada Ki Ageng Pantaran maka diberikan kepada cantrik tersebut sebuah kendi berisi air dan di kawal oleh 4 jin yang masing-masing bernama : Pule, Randu alas, Jangkang dan Asem Gede dengan disertai pesan bahwa selama perjalanan pulang ke Wonotoro jangan sekali-kali menoleh ke belakang. Akan tetapi dalam perjalanannya sesampai di desa Tlatar terjadi angin ribut, mendung tebal, dan halilintar yang menyambar-nyambar, suasana jadi seram dan menakutkan , sehingga dengan tidak disadari cantrik tersebut menoleh kebelakang karena ketakutan. Kendi yang dibawanya jatuh, bersamaan dengan jatuhnya kendi suara gemuruh tersebut hilang. Cantrik sadar akan tugasnya sehingga diambil kendi tersebut untuk dibawa ke desa Wonotoro meskipun airnya tinggal sedikit, saat kendi tersebut diambil suara gemuruh dan hujan lebat datang lagi, cantrik semakin ketakutan, wonotorol membawa kendi yang isinya tinggal sedikit itu cantrik lari sehingga air yang ada dalam kendi tersebut tercicir dijalan. Dan sesampainya di perbatasan desa Wonotoro airnya habis. Ditempat kendi jatuh ternyata keluar air yang meluap-luap ( umbul ) sedang air yang tercicir di jalan-jalan keluar umbul kecil. Sesampai di Desa Wonotoro cantrik langsung menghadap Ki Ageng Wonotoro dengan penuh rasa takut dan menceriterakan semua kejadian yang dialami.

Mendengar cerita cantrik tersebut Ki Ageng Wonotoro dengan penuh kesabaran menerima semuanya, Ki Ageng Menyimpulkan bahwa permohonan untuk mendapatkan sumber air belum terkabul. Dengan kejadian tersebut Ki Ageng Wonotoro menyuruh cantrik untuk kembali ketempat dimana kendi tersebut jatuh, dengan maksud agar cantrik tersebut menjaga sumber air ( umbul ) yang muncul tersebut. Cantrik menuju ketempat kendi jatuh disitu cantrik melihat umbul yang meluap-luap, dan sekitar umbul ada 4 pohon besar yaitu pohon randu alas, pule, asem gede dan jangkang yang merupakan jilmaan dari 4 jim yang mengawal.

Melihat air yang meluap-luap, cantrik berusaha menyumbat sedikit agar air dapat dimanfaatkan untuk masyarakat sekitarnya, kemudian cantrik mengambil batu di desa Mudal, tetapi karena batu yang diambil terlalu besar batu itu jatuh disebelah dukuh Mudal, kemudian cantrik mencari batu lagi dan akhirnya batu tersebut dapat menyumbat sebagian dari umbul, sehingga airnya dapat dimanfaatkan. Setelah itu cantrik tersebut kembali ke Wonotoro, Ki Ageng Wonotoro bertanya kenapa cantrik kembali pulang padahal cantrik tersebut disuruh untuk menjaga umbul itu. Cantrik menceriterakan kejadian di umbul, dari cerita cantrik Ki Ageng Wonotoro tetap menyuruh cantrik agar tetap menjaga umbul tersebut dan dari kejadian tersebut Ki Ageng Wonotoro berpesan bahwa “ Kalau jaman sudah ramai besok “

Tempat kendi jatuh aku namakan umbul mubal, yang sekarang ini disebut umbul Tlatar karena tempatnya di dukuh Tlatar.

Tempat air tercecer dinamakan umbul Recah yang sekarang menyebut desa Rancah.

Tempat suara prahara dinamakan Udan Nuwuh

Tempat mengambil batu untuk menyumbat dinamakan pasekan yang sekarang menjadi desa Pasekan.

Batu yang jatuh disebelah timur dukuh Mudal dinamakan batu Si gajah.

Dengan membawa pesan dari Ki Ageng Wonotoro cantrik kembali ke umbul dan melakukan semedi untuk mendapatkan pendamping hidup. Dalam semedinya cantrik diganggu oleh para peri yang akhirnya salah satu peri tersebut menjadi isteri dari cantrik.

Dari perkembangan cerita perkawinan cantrik dengan peri dilaksanakan dengan perjanjian bahwa perkawinan dilaksanakan asal peri tersebut dibuatkan rumah di sebelah timur umbul yang dinamakan Sedalem dan mata airnya dinamakan Sendang Sidalem.

Pada selanjutnya, Ki Ageng wonotoro terus bermunajad kepada ALLAH, agar diberikan mata air “pengganti”. Permohoanan beliau dikabulkan oleh ALLAH sehingga diberikan sebuah mata air di pinggir sebelah timur padukuhan wonotoro. Kelak mata air ini dinamakan sendang SIRAMAN. Sampai hari ini air sendang siraman masih dipergunakan oleh penduduk di padukuhan wonotoro dan sekitar untuk keperluan sehari-hari, baik mandi, minum maupun mencuci, meskipun padukuhan wonotoro pada masa sekarang sudah dialiri oleh instalasi air PDAM yang airnya juga berasal dari Umbul Tlatar


sumber :
http://mig33salatiga.org/forum/viewtopic.php?f=78&t=10767